Oleh
Dr. Zakarias S. Soeteja, M.Sn**)
Pendidikan Seni rupa di sekolah umum (dalam konteks pendidikan modern) boleh jadi merupakan pendidikan seni yang tertua dibandingkan dengan pendidikan seni lainnya (musik, tari, teater). Sejak zaman kolonial, ketika para penjajah menerapkan sistem pendidikan modern dengan kurikulum yang terstruktur dan level yang berjenjang, pendidikan seni rupa telah dikenalkan secara terbatas dalam bentuk pelajaran menggambar. Tujuan diberikannya mata pelajaran ini (terutama untuk negara jajahan) adalah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam bidang menggambar yang lebih bersifat teknis. Keterampilan menggambar diajarkan bukan dengan tujuan ekspresi (kesenimanan) tetapi difungsikan untuk mendukung bidang pekerjaan lainnya (lihat Soehardjo, 2005).
Pemikiran tentang penyelenggaraan pendidikan seni rupa yang berkembang di sekolah-sekolah di Indonesia sebelum kemerdekaan tersebut mengacu pada sistem pendidikan yang berlangsung di Eropa khususnya di negeri Belanda. Setelah kemerdekaan pengaruh Barat dalam sistem pendidikan seni rupa di Indonesia terus berlanjut. Pengaruh ini kemudian diperkaya oleh pemikiran pendidikan seni rupa yang datang dari Amerika (terutama sejak tahun 1960an) ketika banyak pendidik seni rupa Indonesia belajar di perguruan-perguruan tinggi di Amerika. Selanjutnya kita dapat menelusuri bahwa perkembangan sistem pendidikan di Indonesia secara umum, khususnya pendidikan seni rupa, sangat dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan pemikiran yang terjadi di Barat (Eropa dan Amerika) hingga saat ini (lihat Soehardjo, 2005).
Perubahan pemikiran dalam dunia pendidikan yang dipengaruhi perkembangan ilmu psikologi, terutama psikologi perkembangan mewarnai perubahan pemikiran dalam pendidikan seni rupa sehingga melahirkan dua paradigma pendidikan seni rupa untuk sekolah umum dan pendidikan seni rupa untuk sekolah kejuruan. Salah satu dari dikotomi paradigma tersebut kita kenal dengan istilah “Pendidikan melalui Seni” dan “Pendidikan dalam Seni”. Pendidikan melalui seni dilaksanakan di sekolah-sekolah umum sedangkan pendidikan dalam seni dilakukan di sekolah-sekolah kejuruan. Walaupun dalam prakteknya seringkali sulit di bedakan, tetapi tujuannya berbeda. Di sekolah umum pendidikan seni dilaksanakan dengan tujuan untuk mendukung tujuan pendidikan secara umum, sedangkan di sekolah kejuruan pelaksanaan pendidikan seni adalah untuk menjadikan lulusannya memiliki keterampilan (kompetensi) yang spesifik dalam bidang seni tertentu. Perbedaan tujuan penyelenggaraan pendidikan seni di sekolah umum dan kejuruan ini tentunya berimplikasi pada proses pembelajarannya (perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi).
Masalah pendidikan seni rupa di sekolah umum biasanya muncul dari penyelenggaraan atau proses pembelajaran ini. Masalah tersebut (dengan tingkat kesulitan yang bervariasi) dapat kita kategorikan dalam beberapa aspek sebagai berikut; (1) Guru, (2) Siswa, (3) Sarana dan Prasarana, (4) Kurikulum dan Materi pembelajaran, (5) Administrasi Sekolah dan (6) Orang tua dan masyarakat
Dari ke enam aspek tersebut, hal yang paling krusial biasanya ada pada tiga aspek yaitu aspek guru (SDM), siswa, serta sarana dan prasarana. Dari ke tiga aspek krusial tersebut, tidak dapat disangkal lagi bahwa Guru adalah aspek dominan atau aspek utama yang menjadi penentu “sukses” tidaknya proses pembelajaran seni di sekolah. Dalam berbagai literatur di sebutkan bahwa guru adalah ujung tombak implementasi kurikulum (lihat Sukmadinata, 2002). Dengan demikian apapun paradigma atau pemikiran di balik sebuah kurikulum, bagaimanapun bentuk dan isinya, keberhasilan sebuah proses pembelajaran sangat tergantung dari “kecerdasan” guru dalam mensiasati berbagai masalah yang timbul.
Berdasarkan pengalaman dalam melakukan advokasi pembelajaran seni rupa di berbagai daerah di Indonesia, masalah “keterabaian” atau “keterpinggirkan” mata pelajaran seni merupakan salah satu persoalan yang seringkali dikeluhkan guru. Dianggap sepele atau tidak penting merupakan keluhan yang berkali-kali muncul. Dalam beberapa kasus, mata pelajaran ini bahkan dianggap sebagai beban kurikulum. Mata pelajaran ini menjadi penting hanya jika sekolah diwajibkan untuk mengikuti kegiatan seperti Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) dan sejenisnya. Padahal untuk kegiatan semacam itu hanya segelintir siswa yang dilibatkan, itupun mereka yang dikategorikan berbakat (secara fisik menunjukkan hasil karya yang dinilai bagus/baik sesuai kaidah-kaidah seni tertentu).
Ujian akhir nasional yang menekankan pada mata pelajaran tertentu adalah faktoe lain yang menyebabkan mata pelajaran seni menjadi semakin “tidak penting”. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa di kelas-kelas akhir kelas 6 (SD) atau kelas 3 (SMP dan SMA), mata pelajaran sekolah yang sekian banyak itu direduksi manjadi beberapa mata pelajaran yang di UAN kan saja. Bukan hanya itu, ketika mereka melanjutkan studi, maka mata pelajaran yang di UAN kan menjadi perhatian utama sekolah yang dituju. Kategori siswa “pintar” dan “bodoh” secara mudah ditunjukkan oleh perolehan nilai pada mata pelajaran “utama” khususnya mata pelajaran eksak seperti Sain (IPA) dan Matematika. Pada dekade terakhir ini kategori “pintar” dan “bodoh” dikukuhkan lagi oleh kemampuan siswa dalam penguasaan Bahasa Inggris.
Pandangan yang mementingkan pelajaran tertentu ternyata bukan hanya dari kalangan masyarakat umum (awam) saja. Di kalangan pendidikpun pandangan ini ternyata berakar cukup kuat. Dalam konteks pendidikan seni di sekolah, tantangan pengabaian terhadap pendidikan seni justru datang dari rekan kerja (sesama guru) dan pimpinan sekolah. Walaupun demikian perlu di ketahui bahwa persoalan ini bukan hanya terjadi saat ini dan di negara kita saja. Paradigma ini adalah paradigma yang sudah berlangsung cukup lama dan terjadi juga dalam penyelenggaraan pendidikan seni di negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika Serikat.
Masalah berikutnya dalam pelaksanaan pembelajaran seni rupa di sekolah adalah beban materi yang demikian besar dengan alokasi waktu yang terbatas. Untuk materi apresiasi yang bersifat teori atau konsep, alokasi waktu yang terbatas ini mungkin tidak terlalu menjadi persoalan, tetapi untuk pembelajaran yang bersifat praktek, masalah alokasi waktu adalah masalah krusial. Masalah praktek dalam pembelajaran seni ini kerap kali menjadi pemicu keluhan-keluhan lainnya seperti terbatasnya sarana dan prasarana, kebersihan dan ketertiban kelas, kurangnya kompetensi pendidik (guru) dan lain sebagainya.
Masalah yang muncul selama bertahun-tahun (hampir seumur penyelenggaraan pendidikan seni rupa itu sendiri) disikapi seacara beragam oleh guru seni rupa. Sebagian menganggap biasa atau mencoba membiasakan diri dengan kondisi tersebut, sebagian lagi bersikap reaktif dan cenderung menyalahkan berbagai pihak yang dianggap menjadi penyebabnya. Dampaknya tentu bermacam-macam pula tetapi kesimpulannya selalu sama, bahwa siswalah menjadi pihak utama yang dirugikan. Mungkin hanya sebagian kecil saja guru yang mencoba mensikapi secara “cerdas” dengan strategi “kreatif” untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul.
Tulisan singkat yang disampaikan dalam seminar terbatas ini tidak bermaksud untuk menawarkan resep mujarab yang dapat digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan di berbagai tempat yang tentunya memiliki kompleksitas dan karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai pendidik dan pemerhati pendidikan seni rupa, penulis mencoba menawarkan stimulus bagi para guru seni rupa untuk melakukan tindakan “kreatif” dengan pemikiran yang “cerdas” mengatasi berbagai persoalan dalam penyelenggaraan pendidikan seni di sekolah umum.
Satu hal yang sangat mendasar bagi para guru seni pada umumnya dan guru seni rupa pada khususnya adalah menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa tujuan utama penyelenggaraan pendidikan seni di sekolah umum tidak dimaksudkan agar anak (siswa) menjadi seseorang yang terampil dalam bidang seni atau menjadi seorang ahli seni. Dengan demikian fokus guru sesungguhnya jangan pada aspek kekaryaannya saja dan jangan pula terpaku pada aspek teori yang seringkali cenderung bersifat hafalan. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa pendidikan seni di sekolah umum idealnya difokuskan pada aspek proses. Pernyataan ini umumnya dikemukakan berkaitan dengan persoalan penilaian. Artinya dalam menilai prestasi belajar pendidikan seni, guru diharapkan memberikan perhatian yang cukup besar pada aspek proses, karena proses dianggap lebih penting dari pada hasil akhir.
Bagi guru seni rupa yang memang memiliki kualifikasi Pendidikan Seni Rupa seyogianya tujuan dasar ini sudah dipahami sejak awal memasuki dunia profesinya sebagai guru seni. Walaupun demikian pada kenyataannya tidak sedikit yang “lupa” atau karena pengaruh lingkungan, “mengabaikan” tujuan dasar tersebut. Untuk menguatkan kembali pemikiran tentang tujuan dasar dan peran pendidikan seni di sekolah sebenarnya dapat dilakukan dengan menelaah kembali pengantar kurikulum seni dalam KTSP.
… Dalam mata pelajaran Seni Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya.
Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik, yang terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan: “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Peran ini tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain.
Pendidikan Seni Budaya memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan mancanegara. Hal ini merupakan wujud pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk.
Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multike-cerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional.
Bidang seni rupa, musik, tari, dan teater memiliki kekhasan tersendiri sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang tertuang dalam pemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.
Mata pelajaran Seni Budaya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep dan pentingnya seni budaya
2. Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya
3. Menampilkan kreativitas melalui seni budaya
4. Menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global.
...Di antara keempat bidang seni yang ditawarkan, minimal diajarkan satu bidang seni sesuai dengan kemampuan sumberdaya manusia serta fasilitas yang tersedia. Pada sekolah yang mampu menyelenggarakan pembelajaran lebih dari satu bidang seni, peserta didik diberi kesempatan untuk memilih bidang seni yang akan diikutinya.
Pengantar dalam KTSP di atas sebaiknya dapat di pahami terlebih dahulu sebelum guru menginterpretasikan SK-KD dalam bentuk indikator-indikator pencapaian kompetensi dan evaluasinya. Beberapa bagian dari pengantar tersebut sengaja di tebalkan untuk memberikan penguatan terhadap bagian-bagian penting yang mendasari tujuan penyelenggaraan pendidikan seni budaya di sekolah umum. Dengan mencermati pengantar kurikulum tersebut jelas sekali kita dapat melihat bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan seni di sekolah memiliki tujuan yang melampaui penguasaan keterampilan teknis berkarya seni. Dengan kata lain seni digunakan sebagai alat atau media untuk mencapai tujuan pendidikan yang “bukan” atau “sekedar” mampu barkarya seni.
Menyadari peran dan fungsi serta tujuan pendidikan seni di sekolah umum menjadi bagian penting atau awal dari upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dijumpai dalam proses pembelajaran di sekolah. Idealnya kesadaran ini bukan hanya oleh guru, tetapi semua elemen (stakeholder) yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pendidikan seni di sekolah. Kalaupun tidak, dengan penyadaran ini guru dapat melakukan berbagai rekayasa dalam proses pembelajaran agar tujuan-tujuan dasar tersebut dapat di capai (dalam tingkat yang berbeda-beda). Jika dicermati dengan seksama, penyadaran terhadap tujuan, fungsi dan peran pendidikan seni ini, pada titik tertentu, secara ekstrim, bahkan seorang guru seni boleh jadi tidak perlu memiliki keterampilan teknis dalam berkarya seni. Mengapa demikian, karena dalam penyelenggaraan pendidikan seni yang diperlukan sesungguhnya adalah seorang pendidik yang mampu mendidik dengan seni, melalui seni dan tentang seni. Artinya seorang pendidik seni haruslah paham aspek apa yang diharapkan dimiliki atau dikuasai siswa setelah mengikuti pendidikan seni dimana hal tersebut bukan semata-mata keterampilan berkarya seni.
Ketercapaian multikecerdasan (kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional) yang disuratkan dalam pengantar kurikulum seni budaya (KTSP 2006) dapat dijadikan pegangan bagi guru seni budaya (seni rupa) dalam praktek pembelajaran seni di sekolah. Tujuan mapel Seni Budaya agar peserta didik memiliki kemampuan (1) Memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2) Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya, (3) Menampilkan kreativitas melalui seni budaya dan (4) Menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global haruslah dilihat dalam konteks ketercapaian multikecerdasan tersebut. Demikian pula dengan butir-butir SK-KD yang tampaknya lebih cenderung pada upaya belajar tentang seni haruslah dipandang sebagai medium atau sarana mencapai multikecerdasan yang diharapkan.
Menyadari peran yang mendasar dari penyelenggaraan pendidikan seni di sekolah umum ini memang tidak serta merta mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi guru seni, tetapi dapat dijadikan pintu masuk untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Menjabarkan masing-masing kecerdasan yang dimaksud dalam multikecerdasan seperti telah disebutkan di atas merupakan langkah awal yang patut dicoba. Langkah selanjutnya adalah mencoba untuk mencermati bagian-bagian mana dalam SK-KD yang dapat memenuhi ketercapaian penjabaran dari masing-masing kecerdasan tersebut. Jika langkah-langkah awal ini sudah dilakukan, langkah berikutnya (yang mungkin jauh lebih sulit) adalah meyakinkan para stakeholder terhadap tujuan dan peran pendidikan seni di sekolah umum. Langkah yang disebutkan terakhir tentunya tidak akan berhasil jika kita sebagai guru tidak meyakininya terlebih dahulu. Mungkin sebaiknya kita mencoba juga untuk menguasai multikecerdasan tersebut sebelum kita harapkan dapat diajarkan pada siswa kita melalui dan dengan seni.
DAFTAR PUSTAKA
BSNP, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, Jakarta: BSNP-DEPDIKNAS
Chapman, Laura H. 1978. Approach to Art in Education. New york: Harcourt Brace Jovanovich.
Sukmadinata, N.S., 2002, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.
*) Disampaikan dalam seminar sehari bagi guru-guru MAN se kabupaten Bandung Barat – di MAN 1 Cililin - 7 Mei 2011
**) DR. ZAKARIAS S. SOETEJA, M.Sn., menyelesaikan studi S1 di Jurusan Pendidikan Seni Rupa FPBS IKIP Bandung (UPI), Studi Magister di Program Pascasarjana Penciptaan Seni - Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan program Doktoral di Program Studi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana UPI. Saat ini bekerja sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Seni Rupa FPBS UPI dan Program Studi Pendidikan Seni -Sekolah Pascasarjana UPI.
-